Desember 11, 2024

Kebijakan Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman

8 min read

Penyelenggaraan perumahan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 (h) dan dalam rangka menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati dan atau memiliki rumah layak huni dan terjangkau. Kebutuhan dasar manusia tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (UU PKP) yang mana disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk menjamin hal tersebut, maka negara bertanggung jawab dalam melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar seluruh masyarakat Indonesia mampu bertempat tinggal serta dapat menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan. Negara juga bertanggung jawab dalam upaya pemenuhan akan hak-hak dari warga negaranya. Hal ini tertuang dalam amanat UU PKP Nomor 1 Tahun 2011, bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, agar masyarakat Indonesia mampu bertempat tinggal di hunian yang layak dan terjangkau dalam lingkungan perumahan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan.

Sebagaimana amanat UU PKP tersebut, pemerintah harus mengambil peran lebih banyak dalam penyediaan perumahan melalui fasilitas kemudahan dan bantuan bagi masyarakat yang dapat dilakukan melalui intervensi langsung oleh Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), ataupun bekerja sama dengan pihak swasta dalam hal ini pengembang, serta secara swadaya masyarakat. Pertimbangan pembangunan perumahan harus berdasarkan perwilayahan dan lingkungan dengan menjalankan amanat UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009. Pertimbangan tersebut akan memudahkan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mengakses rumah layak huni dan terjangkau, tidak sebatas pada saat mendapatkan rumah akan tetapi juga terjangkau pada saat menjalankan kehidupan sehari-hari.

Dijelaskan Suhadi Kepala Bidang Perumahan di Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi Banten,Diruang Kerjanya Kemaren,” Pemerintah hingga saat ini sudah melakukan berbagai upaya dalam menangani persoalan pengadaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui beragam skema pembiayaan, e.g., kredit pemilikan rumah (KPR) fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga kredit perumahan (SSB), subsidi bantuan uang muka (SBUM), dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT).

Kondisi Kebijakan
Konsep penyediaan perumahan yang berlandaskan pada kewilayahan ditujukan untuk mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional. Oleh karena itu diperlukan peningkatan pengelolaan sumber daya untuk pembangunan dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan fisik di perkotaan dan perdesaan.

Ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan permukiman meliputi peningkatan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman kumuh dan membangun perumahan dan permukiman baru, termasuk di dalamnya pengaturan yang merupakan kewajiban pemerintah terkait dengan penyediaan tanah, pendanaan dan pembiayaan, serta mengupayakan peran serta masyarakat melalui tahapan perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan. Sebagaimana pelaksananya meliputi menteri pada tingkat nasional, gubernur pada tingkat provinsi dan bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota.

Ditambahnya lagi,”Fungsi Rumah
Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dan rumah merupakan bangunan yang dijadikan manusia sebagai tempat tinggal. Setiap hunian rumah memiliki aktivitas yang terjalin antara pengisi hunian tersebut. Rumah memiliki empat fungsi, yaitu rumah sebagai tempat tinggal, rumah sebagai kebutuhan dasar, rumah sebagai hak dasar, dan rumah sebagai objek kebendaan yang bernilai.

1. Rumah Sebagai Tempat Tinggal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tempat tinggal sebagaimana pengertian umum berasal dari kata tempat yaitu ruang yang dapat didiami atau ditinggali, atau dapat diartikan pula sebagai kedudukan. Tempat tinggal dalam pengertian luas adalah tempat di mana seseorang berdiam atau tinggal untuk melakukan aktivitasnya. Sebagai makhluk, manusia dalam hidupnya sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya (biotik dan abiotik), berinteraksi dan beradaptasi untuk dapat bertahan hidup. Pada tataran paling sederhana, tempat tinggal secara alamiah dibutuhkan untuk berlindung dan mempertahankan diri terhadap pengaruh alam (iklim, cuaca dan/atau makhluk hidup lain).

Tempat tinggal dalam pengertian hukum disebut juga sebagai domicilie adalah tempat seseorang harus dianggap selalu hadir dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban, juga apabila pada suatu waktu seseorang benar-benar tidak dapat hadir di tempat tersebut (burgerlijk wetboek). Jadi tempat tinggal tidak saja secara alamiah melangsungkan hidup tetapi juga diartikan kedudukan di mana seseorang dalam menjalankan hak dan

kewajiban secara hukum.
Berdasarkan beberapa referensi, rumah diartikan sebagai tempat berlindung dari pengaruh luar manusia seperti iklim, musuh, penyakit, dan sebagainya. Untuk dapat berfungsi secara fisiologis, rumah haruslah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang dibutuhkan seperti listrik, air bersih, jendela, ventilasi, tempat pembuangan kotoran dan lain-lain (Koesputranto, 1988). Rumah juga berarti suatu bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya.

Di samping itu, rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Jadi setiap perumahan memiliki sistem nilai yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan masyarakat setempat (Sarwono dalam Budihardjo, 1998: 148). Menurut UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang PKP,





rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Berdasarkan pengertian ini rumah tidak saja bermakna secara fisik berupa bangunan dengan persyaratannya tetapi lebih pada fungsi untuk mewadahi aktivitas pribadi dan sosial penghuni sebagai manusia yang bermartabat.

2. Rumah Sebagai Kebutuhan Dasar
Kebutuhan dasar manusia adalah merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam menjaga keseimbangan baik secara fisiologis maupun psikologis yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Teori hierarki kebutuhan dasar manusia yang dicetuskan oleh Abraham Maslow, terdiri dari lima tingkatan yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan perlindungan, kebutuhan rasa cinta, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan dasar juga diartikan sebagai kebutuhan primer yaitu kebutuhan pokok (primer) yang dibutuhkan manusia. Kebutuhan pokok manusia adalah sandang, pangan dan papan (Supartono & Soewandi, 1991). Sejalan dengan sifatnya, manusia secara alamiah membutuhkan tempat untuk tinggal dan bermukim secara layak sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk hidup, maka manusia secara naluriah mencari dan memenuhi kebutuhan akan tempat tinggalnya sebagai pusat menjalankan kehidupan dan mencapai tujuan. Tempat di mana aktivitas mulai dilakukan dan di mana pula harus kembali. Bagi manusia modern, rumah menjadi kebutuhan yang sangat mendasar terutama bagi seseorang dengan aktivitas dan interaksi yang kompleks, rumah tidak saja berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung, tetapi lebih bermakna sebagai tempat kedudukan di mana hubungan sosial harus dilakukan. Bahkan, bagi sebagian masyarakat tertentu rumah dipandang sebagai sesuatu yang bernilai secara sosiologis dan budaya yang menujukkan identitas dan eksitensinya dalam sistem sosial.

3. Rumah Sebagai Hak Dasar
Dalam perkembangannya, konsepsi rumah atau tempat tinggal dianggap sebagai hak yaitu sesuatu yang harus ada dan diakui menurut kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, dalam hal ini hak untuk menetap di suatu tempat, meskipun berlaku secara relatif. Secara formal hak diakui secara universal pada tahun 1948 melalui deklarasi HAM PBB, yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum negara anggotanya hingga sekarang. Meskipun demikian, artikel dalam deklarasi tersebut implementasinya tergantung proses ratifikasi berdasarkan sistem hukum masing-masing negara anggota. Hak untuk bermukim secara layak di Indonesia dinyatakan secara eksplisit pada tahun 1999 yaitu setelah dicantumkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kemudian hak bermukim secara layak ini dimuat pula setelahnya dalam amandemen kedua UUD 1945 Tahun 2000 Pasal 28. Hal ini tidak berarti negara tidak memberi perhatian terhadap hak warga negara untuk dapat hidup secara baik. Negara dalam kurun waktu sebelumnya juga telah mengeluarkan banyak kebijakan berkenaan dengan perumahan dan permukiman antara lain UU Nomor 4 Tahun 1992 dan pembentukan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) yang secara khusus mengeluarkan kebijakan-kebijakan berkenaan dengan masalah perumahan.

4. Rumah Sebagai Objek Kebendaan yang Bernilai
Sifat kebendaan dari sebuah rumah secara hukum mempunyai dua hal, yaitu sebagai barang dalam arti fisik, berbentuk dan bewujud; dan sebagai hak. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 mengatur hak atas tanah antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak guna pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak mengambil hasil hutan, meskipun dalam prinsipnya dapat dilakukan pemisahan secara horizontal antara tanah dan bangunan di atasnya. Hak atas tanah dan atau bangunan di atasnya menunjukkan bagaimana hubungan hukum antara objek tanah/bangunan dengan pemegang hak, yang menunjukkan sifat, cara perolehan maupun jangka waktu berlakunya. Status hak ini secara hukum hanya sebagai pengakuan hak dan pembuktian dalam perkara di pengadilan. Pada umumnya rumah bagi seseorang berfungsi sebagai tempat tinggal atau tempat kedudukan/domisili. Namun, bagi sebagian lainnya rumah dianggap sebagai objek yang mempunyai arti berdasarkan nilai-nilai budaya maupun ekonomis. Bagi sebagian masyarakat yang masih kuat memegang nilai budaya atau tradisinya, rumah dan tanah mempunyai hubungan emosional yang sangat kuat, terutama masyarakat agraris. Rumah dan tanah pertanian merupakan simbol yang menunjukan status sosial seorang dalam masyarakat. Semakin besar rumah atau semakin luas lahan pertaniannya, maka akan semakin terpandang dan disegani di masyarakatnya. Oleh karena itu, nilai rumah dan tanah bersifat relatif dan subjektif. Dalam perkembangannya tanah atau rumah lebih dimaknai sebagai aset dalam arti kebendaan, mempunyai nilai menurut ukuran ekonomi, dan dapat beralih atau dialihkan. Bahkan, belakangan ini rumah berfungsi pula untuk menyimpan nilai sebagaimana barang berharga, seperti logam mulia, surat berharga atau simpanan jangka panjang untuk mendapatkan rente/bunga. Kecenderungan kenaikan nilai jual atas tanah/rumah selama ini konsisten menurut perjalanan waktu. Selisih nilai lebih pada saat perolehan dan pelepasan menjadi peluang usaha untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dan membuka peluang investasi pada sektor properti. Pada keadaan ini rumah dapat dianggap sebagai komoditi yang diperjualbelikan, terutama di daerah perkotaan dan kawasan pengembangan yang kebutuhan dan permintaan hunian relatif tinggi.
Menurut Suhadi,”Seiring dengan perkembangan zaman, model rumah kian mengalami transformasi berdasarkan tren, kebutuhan dan keinginan pemiliknya. Begitu pula dengan perumahan MBR, pemerintah bukan hanya sebatas merealisasikan unit rumah berdasarkan kuantitas saja, tetapi pemerintah juga didorong untuk memerhatikan kondisi kualitas fisik dari rumah tersebut beserta sarana dan prasarananya. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman untuk mengeluarkan beragam kebijakan teknis pembangunan rumah di Provinsi Banten. Salah satu kebijakan yang terkait dengan bidang perumahan yaitu dilaksanakannya program pembangunan rumah instan bagi masyarakat yang terdampak bencana atau terkena relokasi program provinsi maupun untuk penanganan kemiskinan ekstrim melalui Program Pembangunan Rumah Instan Sederhana Sehat atau yang lebih dikenal dengan singkatan RISHA.

RISHA merupakan salah satu produk unggulan dari Puslitbang Perumahan dan Permukiman Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. RISHA sendiri adalah teknologi konstruksi knock down yang dapat dibangun dalam waktu cepat dengan menggunakan bahan beton bertulang pada struktur utamanya. Inovasi ini didasarkan atas kebutuhan percepatan penyediaan perumahan dengan harga terjangkau dan tetap mempertahankan kualitas sesuai standar SNI. Dapat dibangun dengan cepat dan harga terjangkau karena RISHA merupakan sistem struktur pra-cetak kecil yang dapat dikerjakan oleh masyarakat secara umum. Risha terdiri dari tiga buah panel, yakni Panel P1, Panel P2,

Panel P3 atau Simpul. Masing-masing panel memiliki berat kurang dari 47 kg, sehingga dapat diangkat oleh satu orang tenaga kerja serta tidak memerlukan peralatan yang digunakan pada saat perakitan. Mutu beton yang dipersyaratkan pada teknologi Risha adalah minimal 21,7 MPa (setara K-250), dengan rangka baja tulangan utama diameter 8 mm dan sengkang diameter 6 mm, dengan menggunakan system sambungan kering mur baut diameter 12 mm dan plat ketebalan 3 mm. Dengan menggunakan bahan galvanis atau pelapis anti karat,” Jelas Kabid Perumahan (ADVERTORIAL)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *